“Ibarat bom waktu. Petaka dan bencana akan niscaya. Alam lingkungan tak diperhatikan lagi. Tanah tanah tandus. Catchment area tak tersedia di wilayah kabupaten dan kota. Akibat lanjutan Daerah Aliran Sungai atau DAS terganggu, terjadi sedimentasi, banjir bandang yang membawa kerugian materil milyaran tiap tahun,” ujar Dr. Elviariadi kepada media Nusaperdana.com Selasa (19/4/2022).
Kenaikan harga buah sawit telah memicu pembukaan kebun secara masif di Riau. Salah satunya di Kabupaten Kampar. Kondisi ini dikhawatirkan oleh aktivis lingkungan sekaligus akademisi, Dr Elviriadi.
Ia melihat pembukaan kebun sawit di Riau makin hari semakin tak terbendung. Tanpa ada kriteria kawasan, tanpa melihat fungsi ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Hal ini, kata dia, jika terus dibiarkan sangat berbahaya bisa memicu kerusakan lingkungan jangka panjang dan potensi bencana akan bisa mengancam setiap waktu.
Elviriadi secara khusus meminta Pemerintah Kabupaten Kampar melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Perkebunan (Disbun) menginventaris tata ruang sesuai peruntukannya. Areal mana yang boleh dieksploitasi untuk perkebunan dan areal mana yang tidak boleh dirambah jadi perkebunan sawit.
“Daerah mana yang tak boleh sama sekali. Seperti di Kampar Kiri Hulu, itu areal hutan konservasi Bukit Rimbang Baling,” beber Elviriadi.
Begitu juga katanya, di daerah hulu waduk PLTA Koto Panjang. Jika dibiarkan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, waduk PLTA menjadi abnormal. Volume dan tingkat elevasi air sulit dikendalikan. Waduk Bisa cepat penuh dan terpaksa membuka gate sehingga memicu banjir di hilir. Banyak desa akan terdampak banjir, seperti Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu sampai Pelalawan.
Dampak lain dari habisnya daerah Catchment area menurutnya juga mempercepat erosi. Terkikisnya permukaan tanah dan partikel pasir dan tanah masuk ke dalam waduk hingga memicu sedimentasi dasar waduk.
“Waduk PLTA juga susut airnya. Tinggi muka air berkurang akibat pendangkalan (sedimentasi) bawaan lumpur dari hulu. Butir-butir tanah dan partikel dibawa air hujan langsung ke sungai karena tak ada resapan dari akar-akar pohon hutan,” tutur Dr. Elviriadi lagi.
Dia juga khawatir penanaman sawit di bibir sungai akan memicu kerusakan ekosistem sungai jangka panjang. Padahal jelas, undang-undang tidak membolehkan menanam sawit di bibir sungai sebagaimana diatur dalam undang-undang lingkungan hidup tentang konservasi sumber air dan sungai.
“Nah, jika hal ini dibiarkan, mengakibatkan kerusakan DAS. Seperti yang terjadi di Sungai Kampar sampai Sungai Subayang di Kampar Kiri Hulu. 5 tahun lagi masyarakat sudah tak bisa tinggal di situ lagi. Harus relokasi akibat banjir,” beber dia.
Hal ini menurut hemat Elviriadi sebetulnya tidak akan terjadi jika saja pengawasan instansi terkait berjalan. Untuk itu, dia meminta patroli hutan harus diperkuat. Selain itu juga dibutuhkan komitmen moral yang kuat dari pihak berwenang mulai dari KLHK hingga penegak hukum seperti polisi.
“Pengawasan tak berjalan. Petugas patroli hutan harus diperkuat. Komitmen moral dan hukum harus diutamakan. Jangan ada pembiaran atau kong kalikong. Tegakkan supremasi hukum bagi perusak hutan perawan hingga penanaman sawit di bibir sungai di Desa Penghidupan, Simalinyang, Rantau Kasih, Mentulik hingga ke Langgam,” terangnya.
Dia juga khawatir pembukaan lahan kelapa sawit di sepanjang Sungai Kampar di Desa Penghidupan, Simalinyang, Rantau Kasih hingga ke Desa Mentulik sampai Langgam di Pelalawan.
Jika hal ini tidak dikendalikan akan memberi dampak kerusakan jangka panjang bagi ekosistem air dan sungai di wilayah tersebut. Akibatnya, banjir bandang, air bah bisa terjadi kapan saja mengancam jiwa dan harta benda masyarakat.
sumber: nusaperdana.com