Penyegelan sekitar kurang lebih 1.000 m3 kayu log di lokasi Jetty Beringin Kelurahan Pahandut Seberang Kecamatan Pahandut Kota Palangka Raya yang diduga illegal oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah pada Senin (6/9), merupakan respon terhadap aduan masyarakat atas dugaan adanya kegiatan pengangkutan kayu log illegal.
Kerja penyegelan dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah dan Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Kalimantan dan Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah X Palangkaraya.
PT. HPL sebagai perusahaan yang menjadi pemilik kayu-kayu tersegel tersebut merupakan perusahan yang sudah memiliki perizinan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 54/Menlhk/Setjen/HPL.0/1/2020 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) ke PT HPL, dengan areal produksi seluas kurang lebih 10.050 hektar, di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) unit XI di Kabupaten Kapuas.
Namun demikian untuk dapat beroperasi usaha pemanfaatan hutan produksi harus melewati tahapan perencanaan, dengan kegiatan meliputi: survei potensi atau identifikasi potensi Hutan, penataan areal kerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) berdasarkan hasil survey/identifikasi/inventarisasi, menjadi kawasan lindung PBPH dan areal budidaya/produksi, dan penyusunan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) berdasarkan hasil survey/identifikasi/inventarisasi tersebut.
“RKUPH menjadi dasar penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hutan (RKTPH). Saat ini pengesahan RKTPH dilakukan secara resmi/officially oleh Kepala Dinas yang membidangi Kehutanan di Provinsi atau self approval bagi PBPH yang memiliki nilai kinerja baik,” ujar Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto, di Jakarta, Rabu (8/9).
Sementara itu PBPH sendiri disebut Agus bisa diterbitkan oleh Menteri LHK setelah melalui penyampaian beberapa persyaratan, yaitu: (1) Penyampaian persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh Gubernur dan Komisi AMDAL Daerah berupa UKL/UPL (untuk hutan lindung) atau AMDAL (untuk hutan produksi); (2) Pembuatan berita acara koordinat geografis areal yang dimohon; (3) Pertimbangan teknis/rekomendasi gubernur; (4) Pelunasan iuran PBPH; dan (5) Proposal teknis.
Agus menambahkan saat ini di Kalimantan Tengah, PBPH hasil hutan kayu budi daya (hutan tanaman) ada sebanyak 36 unit dengan luas 850.646,59 ha dengan 25 unit aktif dan 11 unit tidak aktif. Telah dilakukan penilaian kinerja PBPH oleh Lembaga Penilai Verifikasi Independen terhadap 60 unit PBPH yang terdiri dari 55 unit PBPH HA dan 5 unit PBPH HT. Untuk PBPH HA sebanyak 40 unit mendapat penilaian Baik, 8 unit Sedang, dicabut sertifikasinya 2 unit, berakhir sertifikasinya 1 unit, dan tidak lulus sertifikasinya 4 unit. Sementara untuk penilaian5 unit PBPH HT hasilnya 4 unit mendapat nilai Baik, dan Sedang 1 unit.
Agus pun menegaskan terdapat sanksi yang sangat berat kepada PBHP yang melanggar. Sanksi Administratif akan diberikan berupa denda administratif kepada PBPH, sebesar 10 (sepuluh) kali Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) terhadap kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami (Hutan alam) dalam hal: tidak melakukan pengukuran atau pengujian Hasil Hutan; menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% (lima persen) dari total target volume yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan kecuali usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman; serta menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3% (tiga persen) dari volume per jenis kayu yang ditetapkan dalam RKTPH kecuali usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman; dan/atau tidak melaksanakan PUHH dengan benar.
Sanksi Administratif lebih berat berupa denda administratif kepada PBPH sebesar 15 (lima belas) kali PSDH juga bisa dikenakan terhadap kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami (Hutan alam) dalam hal: menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan disahkan; menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan pembuatan koridor; menebang pohon di bawah batas diameter yang diizinkan; menebang pohon di luar blok tebangan yang diizinkan; menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan kecuali dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang; dan/atau menebang pohon yang dilindungi kecuali dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang.
Selanjutnya terkait dugaan ketidaksesuaian volume kayu pada data barcodenya dengan riilnya, maka jika dilihat secara proses seluruh Kayu Bulat hasil penebangan dilakukan Pengukuran dan Pengujian oleh GANISPH pengujian Kayu Bulat dari pihak perusahaan dan dicatat pada buku ukur sebagai dasar pembuatan Laporan Hasil Penebangan (LHP)-Kayu. Kayu Bulat yang telah dilakukan Pengukuran dan Pengujian batang per batang dilakukan penandaan pada bontos dan/atau badan kayu menggunakan label ID quick response code. Barcode tersebut memuat informasi: PBPH, nomor izin, blok tebangan, jenis kayu, dan volume (panjang dan diameter log).
“Jika diketemukan data volume kayu yang tidak sesuai dengan data pada barcode, maka patut diduga perusahaan mencurangi proses pengukuran, sehingga LHP Kayu menjadi tidak sesuai riilnya, dan itu semua ada sanksinya bagi perusahaan. Jadi pernyataan Gubenur Kalimantan Tengah yang menyatakan KLHK seenaknya mengeluarkan izin HTI atas kasus penyegelan kayu PT HPL jelas salah alamat,” ungkap Agus lagi.
Senada dengan hal tersebut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Ruandha Agung Sugardiman menyatakan jika KLHK sangat hati-hati dan prudent dalam memberikan arahan untuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan persetujuan penggunaan kawasan hutan, serta selalu mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah.
“Semua perizinan berusaha pemanfaatan dan persetujuan penggunaan kawasan hutan selalu diawali dengan rekomendasi Pemerintah Daerah atau Gubernur,” ujarnya.
Pentahapan pemberian izin tersebut ditujukan agar menguatkan unsur kehati-hatian pemerintah dalam memberikan akses pengelolaan hutan oleh korporasi, harapannya pemanfaatan dan pengusahaan hasil hutan kayu oleh korporasi tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan bahwa KLHK tidak akan berhenti menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup, termasuk kejahatan penebangan kayu ilegal yang menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan.
“Kasus Penindakan PT HPL ini jika terbukti terdapat pelanggaran harus menjadi peringatan bagi para pemegang izin pemanfaatan hutan lainnya. Kita tidak akan membiarkan pelanggaran illegal logging yang hanya menguntungkan dan memperkaya segelintir orang, namun menimbulkan derita di masyarakat, kerugian negara, serta kerusakan lingkungan. Untuk kasus ini akan kami dalami langkah untuk penegakan hukum pidana dan perdata, agar ada efek jera, tegas Rasio Sani.
“Kami mengapresiasi laporan masyarakat terkait dengan kasus ini, peran aktif masyarakat sangat penting untuk keberhasilan penegakan hukum serta penyelamatan lingkungan hidup dan kawasan hutan”, imbuhnya.
KLHK bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terus mendalami kasus ini. Dugaan sementara terdapat pelanggaran berupa penggunaan barcode kayu log yang tidak sesuai, kapasitas volume log lebih besar dari seharusnya di atas ambang toleransi, dan penggunaan jalan negara di luar prosedur (Dinas Perhubungan).
sumber: ppid.menlhk.go.id